Selasa, 30 April 2013

Manusia & Pandangan Hidup (tulisan)

Pandangan hidup manusia itu berbeda-beda. kadang kala pamikiran orang modern yang tinggal di kota dengan orang tradisional yang tinggal di hutan itu berbeda ya walaupun ada yang sama juga. orang yang tinggal di hutan cenderung menganggap orang yang tinggal di kota itu sebagai suatu ancaman karena berbeda dari segi pakaian,makanan, & pola pikir. bisa dibilang mereka kuno oleh masyarakat kota tetapi untuk masalah kecerdasan dalam membuat inovasi mereka lebih bisa kadang. mau gimana lagi susah untuk mengubah pemikiran yang sudah mereka ikuti selama bertahun-tahun.

Manusia & Pandangan Hidup


Kami Bosan Tinggal di Atas Pohon
KOMPAS.com -- Cuaca panas menyengat terasa di kulit saat tiba di tepian hutan Kampung Basman, Distrik Kaibar, di pedalaman hutan Kabupaten Mappi, Papua, Jumat (23/11/2012). Saat kaki melangkah, tanah terasa goyah dan basah, tanah khas hutan gambut yang mirip karpet tebal tergelar. Ketika memasuki hutan, terbentang batang-batang pohon kayu besi menjulang ke langit. Tiga rumah terlihat samar berada di antara pucuk pepohonan tersebut.
Senyum khas warga lokal menyambut tamu yang datang melangkah memasuki hutan tempat mereka tinggal. Sementara itu sebagian di antara mereka menatap dengan pandangan tajam dengan sedikit rasa resah dan tegang. Busur dan anak panah tergenggam erat di tangan para lelaki yang tak berbusana. Kecurigaan yang terpancar karena kedatangan rombongan orang yang tidak mereka kenal dengan bahasa yang juga tak dimengerti. Perempuan dan anak-anak duduk di beranda rumah-rumah di atas pohon menatap pertemuan dua budaya itu.
Kata sapa selamat siang sedikit mencairkan suasana saat satu di antara mereka menyambut tamu yang datang sambil mengulurkan tangan. "Saya Zakarias Ambraro, pemilik rumah tinggi ini," kata lelaki setengah baya tanpa mengenakan busana sambil memegang erat busur dan anak panah.
Zakarias merupakan salah satu kepala keluarga Suku Kombai yang tinggal di rumah pohon atau yang mereka sebut rumah tinggi. Rumah keluarganya berada di ketinggian sekitar 15 meter dari tanah.
Ia tinggal di rumah tersebut bersama sejumlah istri dan anak-anaknya. Bahasa Indonesia yang diucapkannya didapatkan dari belajar otodidak saat menjual satwa buruan di pasar terdekat.
Suku Kombai merupakan satu di antara tiga suku terasing di pedalaman Kabupaten Mappi yang masih tinggal di rumah-rumah pohon. Selain Kombai ada Suku Korowai dan Suku Citak. Ketiga suku ini menetap di lahan hutan tropis seluas sekitar 600 kilometer persegi di Distrik kaibar dan Tizain. Meskipun berada di wilayah hutan yang sama dengan bahasa keseharian yang mirip, ketiga suku ini jarang saling mengenal dan dahulu dikenal saling bermusuhan.
Hari itu, puluhan warga tiga suku tersebut sedang berkumpul di Kampung Basman. Mereka diminta datang dari berbagai pelosok hutan untuk menyambut rombongan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, yang akan menyerahkan bantuan rumah dan beragam kebutuhan hidup. Kedatangan menteri terkait dengan program pemberdayaan masyarakat komunitas adat terasing di wilayah itu.
Suku rumah pohon
Menemui warga pedalaman yang tinggal di rumah pohon tidaklah mudah. Mereka adalah kaum nomaden yang tinggal di rumah pohon dengan berpindah-pindah tempat. Jika sumber makanan, baik umbi-umbian, sagu, ataupun binatang seperti ikan, babi, dan rusa telah habis, maka mereka akan berpindah dan membangun rumah pohon lagi di tempat lain.
Wilayah hutan yang menjadi tempat hidup mereka juga jauh dari kota atau permukiman lain. Sebagai gambaran jika dari Merauke maka harus menuju ke Kepi sebagai ibu kota Kabupaten Mappi dengan naik pesawat komersial selama satu jam. Dari Kepi dilanjutkan perjalanan melewati sungai dan rawa dengan perahu motor dengan lama perjalanan 5-8 jam. Perjalanan naik perahu motor sungguh pengalaman luar biasa. Sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan indahnya hutan tropis Papua yang masih lebat dan rapat. Suara burung cendrawasih liar menjadi penghilang rasa bosan.
Saat berkunjung ke sana, Menteri Sosial dan rombongan  mendapat fasilitas helikopter milik TNI AD yang bisa menyingkat perjalanan menjadi sekitar 2,5 jam dari Merauke langsung ke Kampung Basman.
Suku-suku ini hanya bagian dari banyaknya komunitas adat terasing yang masih tersebar di bumi Papua. Hanya saja, tiga suku inilah yang dikenal sebagai suku penghuni rumah pohon. Keberadaan mereka baru tercatat  sekitar tahun 1970-an saat misionaris Belanda datang ke sana dan tinggal bersama Suku Korowai. Selanjutnya para antropolohg asing banyak yang meneliti kehidupan Suku Korowai dan suku lain di wilayah itu.
Rumah pohon mereka bangun di atas pohon-pohon besar di hutan, biasanya pohon kayu besi. Sebuah rumah bisa dibangun oleh sekitar 4-6 orang dalam waktu 1-2 minggu. Mereka menebang pohon di hutan dan menggunakan batang rotan sebagai pengikat kayu. Atap rumah mereka buat dari daun sagu yang dianyam dan diikat rotan, Tak ada satupun paku atau pasak kayu untuk membuat rumah. Semua hanya didasarkan pada ikatan rotan yang kuat.
Mereka tinggal di rumah-rumah pohon bukanlah tanpa alasan. Kehidupan di hutan yang masih liar dengan ancaman satwa seperti babi hutan dan ular menjadi alasan. Selain itu, hubungan antarsuku yang masih jarang ada kontak membuat mereka kurang mengenal dan menganggap  komunitas di luar mereka sebagai ancaman. Tinggal di rumah pohon yang tinggi menjadikan mereka aman dari ancaman serangan suku lain.
Pemberdayaan suku terpencil
Pemerintah melalui Kementerian Sosial membuat program pemberdayaan komunitas adat terpencil termasuk suku-suku yang tinggal di rumah pohon. Mereka mendapatkan bantuan rumah kayu permanen di lahan yang disediakan. Selain itu mereka juga mendapat bimbingan untuk beradaptasi dengan budaya luar.
Saat ini sudah terbangun sekitar 140 rumah kayu permanen yang sudah ditempati warga Suku Korowai. Secara bertahap juga akan dibangun untuk warga Suku Kombai dan Citak.
Zakarias yang menjadi salah satu perwakilan Suku Kombai berharap pemerintah juga membuatkan mereka rumah kayu permanen di atas tanah. "Kami ingin punya rumah juga di atas tanah, bukan rumah tinggi di pohon. Kami capek dan bosan tinggal di atas pohon lagi," ujarnya.
Keinginan tersebut wajar mengingat mereka yang sudah menetap di rumah di bawah merasa betah dan senang. Mereka juga mendapat bantuan kebutuhan hidup. Masuknya para rohaniwan turut membantu adaptasi mereka. Pemahaman tentang agama, negara, dan hubungan sosial perlahan mulai dikenalkan. Selain itu, aparat TNI dan Polri yang ada juga diharapkan menjadi jaminan keamanan untuk menghindari perang antarsuku sehingga mereka merasa aman ketika harus turun dari rumah pohon.
Ketua Dewan Adat  Mappi Valentinus Y Kamakaimu, menyambut gembira program ini. Dia berharap hal tersebut bukan sekadar upaya pemerintah menarik simpati warga lokal. "Semoga upaya pemerintah ini dapat menyentuh hati warga dan membuka wacana bagaimana masyarakat adat menyadari hadirnya pemerintah Indonesia di sini karena sebagian besar suku-suku ini belum mengenal negara Indonesia," ujar Valentinus.
Kementerian Sosial merencanakan program pemberdayaan ini berjalan dalam waktu lima tahun. Selanjutnya akan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk meneruskan pemberdayaan dan pendampingan.
Menurut Wakil Bupati Mappi, Benjamin Ngali, saat ini ada sekitar 500 kepala keluarga dari tiga suku yang masih tinggal di rumah pohon. Secara bertahap mereka akan diberi bantuan rumah kayu permanen di atas tanah yang merupakan bagian dari progam pemerintah. Mereka juga diberi bekal ketrampilan dan bahan kebutuhan hidup untuk menghadapi pengaruh budaya luar yang kini sudah mulai mereka kenal.
"Kita akan berdayakan warga lokal dengan melibatkan tokoh masyarakat adat. Pemberdayaan ini bukan untuk mengubah adat dan budaya mereka tetapi mempersiapkan mereka karena mau tidak mau mereka sudah bersinggungan dengan budaya luar ketika harus menjual hasil bumi di pasar,” ujar Benjamin.
Bagaimanapun juga, suku-suku terasing tersebut merupakan bagian dari saudara kita yang tinggal di wilayah negara Indonesia.  Selain persoalan permukiman yang layak, akses kesehatan dan pendidikan juga menjadi persoalan yang masih harus disediakan pemerintah. Sehingga mereka ke depan bisa menjadi warga negara yang juga punya hak untuk berkarya dan maju.
 Kesimpulannya : ya memang program yg sangat bagus untuk merubah pandangan hidup suku tersebut yang tinggal di atas pohon agar turun dan menempati rumah yang disediakan oleh pemerintah karena pemerintah ingin mengubah agar semua orang di indonesia merasakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah akan tetapi program tersebut dapat menghilangkan suatu keunikan dari indonesia itu sendiri.

Manusia & Keadilan (tulisan)

Hidup di dunia ini memanglah berat apalagi kalau tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dari itu manusia dapat menuntut keadilan dari pemerintah yang dia tempati. pada masa sekarang ini bisa dicontohkan pada buruh yang mendapat gaji kecil, buruh merasa pekerjaan mereka tidak sesuai dengan yang mereka dapatkan apalagi dengan gaji yang kecil mereka tidak dapat menyekolahkan anak-anak mereka bahkan tidak dapat membeli makan sehari-hari.ya itulah kehidupan buruh penuh dengan kekurangan yang tidak dicukupi melalui perundingan tetepi dapat ereka wujudkan dengan melakukan aksi demonstrasi di depan istana negara/gedung DPR/MPR.ya walaupun nangtinya akan menyebabkan suatu kemacetan luar biasa di jakarta tetapi itulah suatu usaha untuk mendapatkan penghidupan yang layak.

Manusia & Keadilan


Awas Macet, Aksi Buruh Berlanjut ke Senayan
JAKARTA, KOMPAS.com — Arus lalu lintas mulai dari Medan Merdeka Barat sampai Senayan akan mengalami kemacetan, pasalnya saat ini sekitar 1.000 buruh peserta demo peringatan Hari Buruh Internasional melanjutkan aksi mereka ke Gedung DPR RI.
Sebagian melakukan long march dengan berjalan kaki, sebagian menaiki motor dan sisanya menggunakan bus sewaan. Aparat kepolisian juga mengawal long march tersebut.
Saat ini jalur busway di daerah Medan Merdeka Barat terlihat padat. Aksi buruh tersebut dilakukan dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional.
Dalam aksinya para demonstran menuntut agar pemerintah memperjuangkan nasib buruh, seperti menghapuskan sistem outsourcing, menaikkan upah buruh, dan memberikan perlindungan bagi para buruh.
Kesimpulannya ya inilah aksi buruh untuk mendapatkan suatu keadilan dengan melakukan sebuah demonstrasi besar-besaran agar mendapatkan pengahsilan yang lebih layak karena menurut mereka dengan gaji sekarang yang mereka dapatkan tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.