Kami
Bosan Tinggal di Atas Pohon
KOMPAS.com -- Cuaca panas
menyengat terasa di kulit saat tiba di tepian hutan Kampung Basman, Distrik
Kaibar, di pedalaman hutan Kabupaten Mappi, Papua, Jumat (23/11/2012). Saat
kaki melangkah, tanah terasa goyah dan basah, tanah khas hutan gambut yang
mirip karpet tebal tergelar. Ketika memasuki hutan, terbentang batang-batang
pohon kayu besi menjulang ke langit. Tiga rumah terlihat samar berada di antara
pucuk pepohonan tersebut.
Senyum khas
warga lokal menyambut tamu yang datang melangkah memasuki hutan tempat mereka
tinggal. Sementara itu sebagian di antara mereka menatap dengan pandangan tajam
dengan sedikit rasa resah dan tegang. Busur dan anak panah tergenggam erat di
tangan para lelaki yang tak berbusana. Kecurigaan yang terpancar karena
kedatangan rombongan orang yang tidak mereka kenal dengan bahasa yang juga tak
dimengerti. Perempuan dan anak-anak duduk di beranda rumah-rumah di atas pohon
menatap pertemuan dua budaya itu.
Kata sapa
selamat siang sedikit mencairkan suasana saat satu di antara mereka menyambut
tamu yang datang sambil mengulurkan tangan. "Saya Zakarias Ambraro,
pemilik rumah tinggi ini," kata lelaki setengah baya tanpa mengenakan
busana sambil memegang erat busur dan anak panah.
Zakarias
merupakan salah satu kepala keluarga Suku Kombai yang tinggal di rumah pohon
atau yang mereka sebut rumah tinggi. Rumah keluarganya berada di ketinggian
sekitar 15 meter dari tanah.
Ia tinggal di
rumah tersebut bersama sejumlah istri dan anak-anaknya. Bahasa Indonesia yang
diucapkannya didapatkan dari belajar otodidak saat menjual satwa buruan di
pasar terdekat.
Suku Kombai
merupakan satu di antara tiga suku terasing di pedalaman Kabupaten Mappi yang
masih tinggal di rumah-rumah pohon. Selain Kombai ada Suku Korowai dan Suku
Citak. Ketiga suku ini menetap di lahan hutan tropis seluas sekitar 600
kilometer persegi di Distrik kaibar dan Tizain. Meskipun berada di wilayah
hutan yang sama dengan bahasa keseharian yang mirip, ketiga suku ini jarang
saling mengenal dan dahulu dikenal saling bermusuhan.
Hari itu,
puluhan warga tiga suku tersebut sedang berkumpul di Kampung Basman. Mereka
diminta datang dari berbagai pelosok hutan untuk menyambut rombongan Menteri
Sosial Salim Segaf Al Jufri, yang akan menyerahkan bantuan rumah dan beragam
kebutuhan hidup. Kedatangan menteri terkait dengan program pemberdayaan
masyarakat komunitas adat terasing di wilayah itu.
Suku rumah pohon
Menemui warga
pedalaman yang tinggal di rumah pohon tidaklah mudah. Mereka adalah kaum
nomaden yang tinggal di rumah pohon dengan berpindah-pindah tempat. Jika sumber
makanan, baik umbi-umbian, sagu, ataupun binatang seperti ikan, babi, dan rusa
telah habis, maka mereka akan berpindah dan membangun rumah pohon lagi di
tempat lain.
Wilayah hutan
yang menjadi tempat hidup mereka juga jauh dari kota atau permukiman lain.
Sebagai gambaran jika dari Merauke maka harus menuju ke Kepi sebagai ibu kota
Kabupaten Mappi dengan naik pesawat komersial selama satu jam. Dari Kepi dilanjutkan
perjalanan melewati sungai dan rawa dengan perahu motor dengan lama perjalanan
5-8 jam. Perjalanan naik perahu motor sungguh pengalaman luar biasa. Sepanjang
perjalanan disuguhi pemandangan indahnya hutan tropis Papua yang masih lebat
dan rapat. Suara burung cendrawasih liar menjadi penghilang rasa bosan.
Saat berkunjung
ke sana, Menteri Sosial dan rombongan mendapat
fasilitas helikopter milik TNI AD yang bisa menyingkat perjalanan menjadi
sekitar 2,5 jam dari Merauke langsung ke Kampung Basman.
Suku-suku ini
hanya bagian dari banyaknya komunitas adat terasing yang masih tersebar di bumi
Papua. Hanya saja, tiga suku inilah yang dikenal sebagai suku penghuni rumah
pohon. Keberadaan mereka baru tercatat sekitar tahun
1970-an saat misionaris Belanda datang ke sana dan tinggal bersama Suku
Korowai. Selanjutnya para antropolohg asing banyak yang meneliti kehidupan Suku
Korowai dan suku lain di wilayah itu.
Rumah pohon
mereka bangun di atas pohon-pohon besar di hutan, biasanya pohon kayu besi.
Sebuah rumah bisa dibangun oleh sekitar 4-6 orang dalam waktu 1-2 minggu.
Mereka menebang pohon di hutan dan menggunakan batang rotan sebagai pengikat
kayu. Atap rumah mereka buat dari daun sagu yang dianyam dan diikat rotan, Tak
ada satupun paku atau pasak kayu untuk membuat rumah. Semua hanya didasarkan
pada ikatan rotan yang kuat.
Mereka tinggal
di rumah-rumah pohon bukanlah tanpa alasan. Kehidupan di hutan yang masih liar
dengan ancaman satwa seperti babi hutan dan ular menjadi alasan. Selain itu,
hubungan antarsuku yang masih jarang ada kontak membuat mereka kurang mengenal
dan menganggap komunitas di luar mereka sebagai ancaman. Tinggal di
rumah pohon yang tinggi menjadikan mereka aman dari ancaman serangan suku lain.
Pemberdayaan suku terpencil
Pemerintah melalui
Kementerian Sosial membuat program pemberdayaan komunitas adat terpencil
termasuk suku-suku yang tinggal di rumah pohon. Mereka mendapatkan bantuan
rumah kayu permanen di lahan yang disediakan. Selain itu mereka juga mendapat
bimbingan untuk beradaptasi dengan budaya luar.
Saat ini sudah
terbangun sekitar 140 rumah kayu permanen yang sudah ditempati warga Suku
Korowai. Secara bertahap juga akan dibangun untuk warga Suku Kombai dan Citak.
Zakarias yang
menjadi salah satu perwakilan Suku Kombai berharap pemerintah juga membuatkan
mereka rumah kayu permanen di atas tanah. "Kami ingin punya rumah juga di
atas tanah, bukan rumah tinggi di pohon. Kami capek dan bosan tinggal di atas
pohon lagi," ujarnya.
Keinginan
tersebut wajar mengingat mereka yang sudah menetap di rumah di bawah merasa
betah dan senang. Mereka juga mendapat bantuan kebutuhan hidup. Masuknya para
rohaniwan turut membantu adaptasi mereka. Pemahaman tentang agama, negara, dan
hubungan sosial perlahan mulai dikenalkan. Selain itu, aparat TNI dan Polri
yang ada juga diharapkan menjadi jaminan keamanan untuk menghindari perang
antarsuku sehingga mereka merasa aman ketika harus turun dari rumah pohon.
Ketua Dewan
Adat Mappi Valentinus Y Kamakaimu, menyambut gembira
program ini. Dia berharap hal tersebut bukan sekadar upaya pemerintah menarik
simpati warga lokal. "Semoga upaya pemerintah ini dapat menyentuh hati
warga dan membuka wacana bagaimana masyarakat adat menyadari hadirnya pemerintah
Indonesia di sini karena sebagian besar suku-suku ini belum mengenal negara
Indonesia," ujar Valentinus.
Kementerian
Sosial merencanakan program pemberdayaan ini berjalan dalam waktu lima tahun.
Selanjutnya akan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk meneruskan
pemberdayaan dan pendampingan.
Menurut Wakil
Bupati Mappi, Benjamin Ngali, saat ini ada sekitar 500 kepala keluarga dari
tiga suku yang masih tinggal di rumah pohon. Secara bertahap mereka akan diberi
bantuan rumah kayu permanen di atas tanah yang merupakan bagian dari progam
pemerintah. Mereka juga diberi bekal ketrampilan dan bahan kebutuhan hidup
untuk menghadapi pengaruh budaya luar yang kini sudah mulai mereka kenal.
"Kita akan
berdayakan warga lokal dengan melibatkan tokoh masyarakat adat. Pemberdayaan
ini bukan untuk mengubah adat dan budaya mereka tetapi mempersiapkan mereka
karena mau tidak mau mereka sudah bersinggungan dengan budaya luar ketika harus
menjual hasil bumi di pasar,” ujar Benjamin.
Bagaimanapun juga, suku-suku terasing tersebut merupakan
bagian dari saudara kita yang tinggal di wilayah negara Indonesia. Selain persoalan permukiman yang layak, akses
kesehatan dan pendidikan juga menjadi persoalan yang masih harus disediakan
pemerintah. Sehingga mereka ke depan bisa menjadi warga negara yang juga punya
hak untuk berkarya dan maju.
Kesimpulannya : ya memang program yg sangat
bagus untuk merubah pandangan hidup suku tersebut yang tinggal di atas pohon
agar turun dan menempati rumah yang disediakan oleh pemerintah karena
pemerintah ingin mengubah agar semua orang di indonesia merasakan bantuan yang
diberikan oleh pemerintah akan tetapi program tersebut dapat menghilangkan
suatu keunikan dari indonesia itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar