"Menjadi ilmuwan
adalah sebuah penghargaan. Penghargaan dari dan bagi dunia yang luas serta umat
manusia yang tinggal di dalamnya," kata Prof Masatoshi Koshiba dalam
wawancara khusus penerima Nobel Fisika tahun 2002 pada tanggal 12 Desember 2002.
Koshiba percaya ilmuwan tergantikan meski kerja besarnya belum selesai. Ucapan dan kepercayaan Koshiba (82), guru besar di Universitas Tokyo, Jepang, itu menemukan aktualitasnya di aula utama Istana Tampak Siring, Gianyar, Bali, Selasa (5/8) malam, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan pertanyaan, "Siapa ingin menjadi peraih Nobel?" Sontak, seluruh peserta Asian Science Camp (ASC) ke-2 tahun 2008--terdiri dari 365 siswa Indonesia dan 150 siswa dari wilayah Asia lain--mengacungkan tangan dengan mantap.
Acara ramah tamah, Presiden Yudhoyono, yang saat itu didampingi Ny Ani, dengan peserta ASC lalu menjadi lebih hangat. Tampak sejumlah menteri, yaitu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh.
"Kita melihat masa depan yang cerah bertemu dengan orang-orang seperti kalian. Asia akan benar-benar bangkit dan maju sebagaimana saya yakin Indonesia yang kita cintai juga akan bangkit, maju, dan sejahtera pada abad ke-21 ini," kata Presiden Yudhoyono. Tepuk tangan pun menggemuruh.
Kehadiran sosok Masatoshi Koshiba serta empat peraih Nobel lainnya, yakni Prof Yuan- Tseh Lee (Nobel Kimia 1986 dari Taiwan), Prof Douglas Osheroff (Nobel Fisika 1996, AS), Prof Richard Robert Ernst (Nobel Kimia 1991, Swiss), dan Prof David Gross (Nobel Fisika 2004, AS), membawa energi positif pada acara ASC ke-2 tahun 2008, 3-9 Agustus 2008 di Bali.
"Mereka membagikan pengalamannya, memotivasi generasi muda Asia untuk meraih prestasi di bidang sains dan teknologi sekaliber peraih Nobel dan ilmuwan dunia yang hadir," kata Prof Yohanes Surya, Ketua Panitia ASC ke-2 tahun 2008 yang juga Ketua Surya Institute. Selain kelima peraih Nobel, terdapat 17 ilmuwan tingkat dunia. Hadir juga para siswa peraih medali emas dalam aneka olimpiade sains tingkat internasional.
Menurut Presiden, apabila negara ingin maju, bangsanya harus unggul. "Kalau sejak muda memiliki semangat, 'Saya bisa', dan memiliki semangat berjuang untuk menjadi manusia unggul, jalan akan terbuka. Tak perlu mendengarkan mereka yang pesimistis, berjiwa gelap, karena mereka tidak akan ke mana-mana," ujar Presiden.
Presiden yakin prestasi pelajar dan mahasiswa dalam ajang-ajang kompetisi sains dan teknologi tingkat internasional akan terus berlanjut.
Pemberian beasiswa
Sebagai bentuk penghargaan sekaligus lebih memotivasi, Presiden Yudhoyono mengumumkan kebijakan pemberian beasiswa penuh hingga strata pendidikan doktor di universitas mana pun di dunia kepada peraih medali emas olimpiade sains. Untuk peraih medali perak atau perunggu, beasiswa diberikan hingga gelar master.
"Kebijakan ini sekaligus pemerataan keadilan dalam pendidikan, terutama bagi mereka yang berprestasi istimewa, tetapi kurang mampu secara ekonomi," kata Presiden.
Ia mengingatkan, para siswa yang dibiayai negara itu kelak langsung kembali membangun Indonesia dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa. Semua masalah dunia dan Indonesia pada masa datang, menurut Presiden, berpangkal pada pertambahan penduduk dunia yang pesat.
Menurut Presiden, pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia diprediksi mencapai 9,5 miliar jiwa dan penduduk Indonesia bisa mencapai 310 juta jiwa. Maka, dibutuhkan peradaban baru yang dapat dibentuk dari dua cara, yakni gaya hidup menjaga dan peduli lingkungan, serta inovasi teknologi.
Presiden pun mengajukan tiga pertanyaan kepada para siswa. "Apa keunggulan serta kelemahan penggunaan teknologi yang bersumber dari tenaga matahari di Asia?". "Jika kalian menjadi pemenang Nobel, apa yang akan kalian sumbangkan untuk kesejahteraan Asia?". "Apakah sains dapat mengentaskan kemiskinan? Bagaimana caranya?".
Putu Dyah Ayu Laksmi, siswi kelas III SMAN 1 Gianyar, Bali, menjawab, integritas dan karya nyata ilmuwan adalah modal utama menuju kesejahteraan. Ia pun bertekad menyebarkan ilmu pengetahuan kepada seluruh generasi muda di Asia karena ilmu pengetahuan dapat meningkatkan pembangunan bangsa-bangsa.
Prof Masatoshi Koshiba berusia 76 tahun ketika meraih Nobel Fisika tahun 2002--setelah 44 tahun bergulat dengan ilmunya setelah lulus dari program S-1 Universitas Tokyo. Ia mengaku butuh waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lakukan benar sekaligus berguna untuk manusia dan kemanusiaan.
Jadi, siapa tahu Putu Dyah Ayu Laksmi, peserta ASC ke-2 tahun 2008, atau siapa saja yang mengaku warga negara dan cinta Indonesia akan menjadi peraih Nobel suatu saat nanti?
Koshiba percaya ilmuwan tergantikan meski kerja besarnya belum selesai. Ucapan dan kepercayaan Koshiba (82), guru besar di Universitas Tokyo, Jepang, itu menemukan aktualitasnya di aula utama Istana Tampak Siring, Gianyar, Bali, Selasa (5/8) malam, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan pertanyaan, "Siapa ingin menjadi peraih Nobel?" Sontak, seluruh peserta Asian Science Camp (ASC) ke-2 tahun 2008--terdiri dari 365 siswa Indonesia dan 150 siswa dari wilayah Asia lain--mengacungkan tangan dengan mantap.
Acara ramah tamah, Presiden Yudhoyono, yang saat itu didampingi Ny Ani, dengan peserta ASC lalu menjadi lebih hangat. Tampak sejumlah menteri, yaitu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh.
"Kita melihat masa depan yang cerah bertemu dengan orang-orang seperti kalian. Asia akan benar-benar bangkit dan maju sebagaimana saya yakin Indonesia yang kita cintai juga akan bangkit, maju, dan sejahtera pada abad ke-21 ini," kata Presiden Yudhoyono. Tepuk tangan pun menggemuruh.
Kehadiran sosok Masatoshi Koshiba serta empat peraih Nobel lainnya, yakni Prof Yuan- Tseh Lee (Nobel Kimia 1986 dari Taiwan), Prof Douglas Osheroff (Nobel Fisika 1996, AS), Prof Richard Robert Ernst (Nobel Kimia 1991, Swiss), dan Prof David Gross (Nobel Fisika 2004, AS), membawa energi positif pada acara ASC ke-2 tahun 2008, 3-9 Agustus 2008 di Bali.
"Mereka membagikan pengalamannya, memotivasi generasi muda Asia untuk meraih prestasi di bidang sains dan teknologi sekaliber peraih Nobel dan ilmuwan dunia yang hadir," kata Prof Yohanes Surya, Ketua Panitia ASC ke-2 tahun 2008 yang juga Ketua Surya Institute. Selain kelima peraih Nobel, terdapat 17 ilmuwan tingkat dunia. Hadir juga para siswa peraih medali emas dalam aneka olimpiade sains tingkat internasional.
Menurut Presiden, apabila negara ingin maju, bangsanya harus unggul. "Kalau sejak muda memiliki semangat, 'Saya bisa', dan memiliki semangat berjuang untuk menjadi manusia unggul, jalan akan terbuka. Tak perlu mendengarkan mereka yang pesimistis, berjiwa gelap, karena mereka tidak akan ke mana-mana," ujar Presiden.
Presiden yakin prestasi pelajar dan mahasiswa dalam ajang-ajang kompetisi sains dan teknologi tingkat internasional akan terus berlanjut.
Pemberian beasiswa
Sebagai bentuk penghargaan sekaligus lebih memotivasi, Presiden Yudhoyono mengumumkan kebijakan pemberian beasiswa penuh hingga strata pendidikan doktor di universitas mana pun di dunia kepada peraih medali emas olimpiade sains. Untuk peraih medali perak atau perunggu, beasiswa diberikan hingga gelar master.
"Kebijakan ini sekaligus pemerataan keadilan dalam pendidikan, terutama bagi mereka yang berprestasi istimewa, tetapi kurang mampu secara ekonomi," kata Presiden.
Ia mengingatkan, para siswa yang dibiayai negara itu kelak langsung kembali membangun Indonesia dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa. Semua masalah dunia dan Indonesia pada masa datang, menurut Presiden, berpangkal pada pertambahan penduduk dunia yang pesat.
Menurut Presiden, pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia diprediksi mencapai 9,5 miliar jiwa dan penduduk Indonesia bisa mencapai 310 juta jiwa. Maka, dibutuhkan peradaban baru yang dapat dibentuk dari dua cara, yakni gaya hidup menjaga dan peduli lingkungan, serta inovasi teknologi.
Presiden pun mengajukan tiga pertanyaan kepada para siswa. "Apa keunggulan serta kelemahan penggunaan teknologi yang bersumber dari tenaga matahari di Asia?". "Jika kalian menjadi pemenang Nobel, apa yang akan kalian sumbangkan untuk kesejahteraan Asia?". "Apakah sains dapat mengentaskan kemiskinan? Bagaimana caranya?".
Putu Dyah Ayu Laksmi, siswi kelas III SMAN 1 Gianyar, Bali, menjawab, integritas dan karya nyata ilmuwan adalah modal utama menuju kesejahteraan. Ia pun bertekad menyebarkan ilmu pengetahuan kepada seluruh generasi muda di Asia karena ilmu pengetahuan dapat meningkatkan pembangunan bangsa-bangsa.
Prof Masatoshi Koshiba berusia 76 tahun ketika meraih Nobel Fisika tahun 2002--setelah 44 tahun bergulat dengan ilmunya setelah lulus dari program S-1 Universitas Tokyo. Ia mengaku butuh waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lakukan benar sekaligus berguna untuk manusia dan kemanusiaan.
Jadi, siapa tahu Putu Dyah Ayu Laksmi, peserta ASC ke-2 tahun 2008, atau siapa saja yang mengaku warga negara dan cinta Indonesia akan menjadi peraih Nobel suatu saat nanti?
Kesimpulan yang dapat
diambil dalam bacaan di atas adalah teknologi berperan penting dalam
menuntaskan masalah kemiskinan suatu masyarakat mungkin dengan teknologi yang
sederhana dapat memajukan sebuah bangsa ya contohnya seperti di atas itu
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/07/07090550/siapa.ingin.menjadi.peraih.nobel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar